Laman

Rabu, 11 April 2012

CIRI-CIRI FAHAM RADIKAL dalam Islam(2)

6.Berpemahaman Materialisme Dzohiriyah, yaitu dengan hanya mengakui manfaat zhahir yang terlihat dari sebuah perbuatan, dan mengingkari manfaat batin yang justeru lebih berharga dari manfaat zhahir. Terbukti, mereka lebih memilih memberi makan atau santunan kepada fakir-miskin atau anak yatim dalam rangkaian aksi sosial yang mereka yakini berpahala, daripada memberi peluang mendapat rahmat, ampunan, dan hidayah dalam acara tahlilan atau peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. yang mereka yakini sia-sia. Padahal di dalam acara tahlilan atau Maulid, orang bukan cuma diberi peluang mendapat rahmat, ampunan, dan hidayah, tetapi juga diberi makan! Memang, menurut mereka, mengenyangkan perut orang lapar berarti menyelamatkannya dari jurang kekafiran. Sayangnya, setelah selamat dari jurang kekafiran, orang itu dijerumuskan ke jurang kesombongan, dan kesombongan adalah jalan lain menuju kekafiran.

7.Mudah mengklaim salah & Mendiskreditkan Orang Lain , yaitu dengan menuduh amalan orang lain sebagai amalan syirik atau sesat tanpa upaya mencari tahu alasan-alasan mengapa amalan itu dilakukan. Sebenarnya, mereka yang tidak kreatif ini sudah kehabisan tempat di hati masyarakat, sehingga tidak ada cara yang lebih bagus untuk merebutnya kecuali dengan menjelek-jelekkan atau menebarkan keragu-raguan di hati orang-orang yang sudah biasa mengikuti ajaran para ulama. Maklumlah, tidak ada cara yang lebih jitu bagi seorang pedagang yang culas untuk melariskan dagangannya selain dengan mencela-cela dagangan orang lain di hadapan para pembeli!

8.Melakukan berbagai tuduhan palsu . Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., ratiban, dan tahlilan hanyalah merupakan tradisi atau kebiasaan yang dijalankan oleh masyarakat sejak masa dahulu yang diyakini mengandung kebaikan. Masyarakat pun tahu bahwa tradisi itu boleh-boleh saja diadakan atau tidak diadakan menurut kondisi. Namun golongan ini menilai hal tersebut dari sudut pandang mereka sendiri, dengan mengatakan bahwa masyarakat itu telah menjadikan acara tersebut sebagai bagian dari pokok ajaran agama atau syari’at yang diada-adakan tanpa dasar. Lebih buruk lagi, tidak jarang mereka mengambil dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang konteks sebenarnya ditujukan untuk orang kafir atau musyrik penyembah berhala, mereka arahkan tudingan ayat itu untuk pelaku Maulid atau tahlilan yang sudah jelas tidak menyembah berhala. Aneh memang, mereka yang menuduh, mereka sendiri yang menyalahkan, dan ini adalah fitnah besar! Ibaratnya, nasi kuning hanyalah makanan biasa. Kalau tidak doyan, tidak perlu menuduhnya sebagai peninggalan hindu yang biasa dibuat dalam rangka mengagungkan dan memberi persembahan pada dewa-dewa! Na’udzu billah!

9.Sangat gampang mengharamkan Sesuatu yang Tidak Dijelaskan Keharamannya di dalam al-Qur’an atau Hadis . Misalnya, tahlilan, tawassul, dan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw itu mereka anggap haram, karena termasuk bid’ah sesat. Padahal Rasulullah Saw. sampai wafatnya tidak pernah menyebutkan bahwa yang beliau maksud “..setiap bid’ah itu kesesatan…” adalah tahlilan, tawassul, dan peringatan Maulid. Di sini tampak keculasan mereka; untuk menyalahkan orang lain mereka gunakan dalil umum (tidak terperinci), sedangkan untuk membenarkan amalan ibadah mereka, mereka gunakan dalil khusus (kasuistik/berdasarkan kasus-perkasus yang ada di dalam riwayat hadis). Akibatnya mereka sering berkata, “Tidak ada dalil yang membenarkan peringatan Maulid”. Semestinya mereka juga berpikir, “Tidak ada dalill yang melarang peringatan Maulid”, karena Rasulullah Saw. tidak pernah menyebutkannya! Yang dilarang itu bid’ah dholalah, bukan Maulid!

10.Sangat berani membatasi Kemampuan & Kemurahan Allah . Saat mereka menganggap pahala amal orang hidup tidak bisa sampai kepada orang yang sudah meninggal padahal orang tersebut telah berdo’a kepada Allah untuk menyampaikannya, seolah mereka menganggap Allah lemah dan tidak mampu menyampaikan pahala itu kepadanya, dan menganggap Allah pelit sehingga tidak mau memenuhi permintaan hamba-Nya untuk menyampaikan pahala itu. Padahal, Allah sudah menjamin dalam firman-Nya, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan bagimu …” (QS. Al-Mu’min: 60) dan “Aku tergantung sangkaan hamba-Ku, maka hendaklah ia menyangka kepada-Ku sekehendaknya” (Hadits Qudsi riwayat Imam Ahmad).
Abi Fajry Faisol Tantowi


Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar