Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian. (QS Yunus, 58)
Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan
adanya rahmat Allah SWT. Sementara hadirnya Romadhon Al-Mubarok adalah
jelas-jelas merupakan karunia dan rahmat Allah Swt yang sepatutnya kita
sambut dengan penuh kegembiraan lahir bathin.
Detik-detik menjelang puasa terdapat tradisi masyarakat Muslim Jawa yang
sampai saat ini masih eksis, yakni Megengan.. Tradisi ini biasanya
dilaksanakan menjelang puasa demi mewujudkan rasa kegembiraan atas akan
datangnya tamu agung yaitu Ramadhan Al-Mubarok. Tradisi ini dan yang
lainnya sungguh-sungguh merupakan tradisi indigenius atau khas, yang
tidak dimiliki oleh Islam di tempat lain. Tradisi ini ditandai dengan
upacara selamatan ala kadarnya untuk menandai akan masuknya bulan puasa
Ramadan yang diyakini sebagai bulan yang suci dan khusus.
Di duga kuat, bahwa tradisi ini diajarkan oleh walisanga khususnya Sunan
Kalijaga. Namun mengingat bahwa kreasi-kreasi tentang Islam Jawa
terutama yang menyangkut tradisi-tradisi baru akulturatif yang
bervariatif tersebut kebanyakan datang dari pemikiran Sunan Kalijaga,
maka kiranya dugaan ini pun bisa dipertanggungjawabkan.
Secara bahasa Megengan berarti menahan. Seperti dalam ungkapan megeng
nafas, artinya menahan nafas, megeng hawa nafsu artinya menahan hawa
nafsu dan sebagainya. Di dalam konteks puasa, maka yang dimaksud adalah
menahan hawa nafsu selama bulan puasa. Secara simbolik, bahwa upacara
megengan berarti menjadi penanda bahwa manusia akan memasuki bulan puasa
sehingga harus menahan hawa nafsu, baik yang terkait dengan makan,
minum, hubungan seksual dan nafsu lainnya.
Oleh sebab itu, megeng berarti suatu penanda bagi orang Islam untuk
melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan yang sangat
disucikan di dalam Islam. Para walisanga memang mengajarkan Islam kepada
masyarakat dengan berbagai simbol-simbol. Dan untuk itu maka dibuatlah
tradisi untuk menandainya, yang kebanyakan adalah menggunakan medium
slametan meskipun namanya sangat bermacam-macam.
Nuansa keislaman memang sangat terasa di dalam tradisi ini. Dan
sebagaimana diketahui bahwa Islam memang sangat menganjurkan agar
seseorang bisa menahan hawa nafsu. Manusia harus menahan nafsu amarah,
nafsu yang digerakkan oleh rasa marah, egois, tinggi hati, merasa benar
sendiri dan menang sendiri. Nafsu amarah adalah nafsu keakuan atau
egoisme yang paling sering meninabobokan manusia. Setiap orang memiliki
sikap egoistik sebagai bagian dari keinginan untuk mempertahankan diri.
Perlukah Tradisi Megengan dilestarikan?
Dalam ushul fiqih terdapat sebuah kaidah asasi al-‘adat muhakkamat
(=adat dapat dihukumkan) atau al-‘adat syari’at muhakkamat (=adat
merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah tersebut kurang lebih
bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan variabel sosial yang mempunyai
otoritas hukum (hukum Islam). Adat bisa mempengaruhi materi hukum ,
secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor
eksternal non-implikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi
bagi adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan
hukum Islam bersifat fleksibel.
Sebuah diktum yang amat terkenal menerangkan tentang salah satu prinsip
Islam: Muhafazhat ‘ala al-qadim al-shalih wa akhdz ‘ala al-jadid
al-ashlah (=Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang
lebih baik). Artinya, kedatangan Islam tidaklah untuk memberangus adat
yang baik yang berlaku pada suatu masyarakat. Islam memandang adat yang
baik sebagai suatu bentuk kreasi manusia dalam konteks lingkungannya
(fisik dan nonfisik). Karena itu, Islam bersifat acceptable pada
berbagai bentuk masyarakat yang ada di dunia ini kapanpun juga. Atas
dasar ini, Islam memang pantas menjadi agama universal dan berlaku
selamanya.
Dalam perkembangan adat (akibat interaksi antar adat yang berbeda),
Islam mengajarkan untuk menjaga adat lama yang baik, sebagai suatu
orisinalitas yang akan mewarnai kehidupan. Apabila terdapat suatu adat
baru (yang baik) maka hendaknya sebisa mungkin diterima untuk
didampingkan dengan adat yang lama (yang juga baik), sehingga akan
memperkaya khazanah budaya masyarakat tersebut. Namun apabila adat baru
(yang baik) itu mesti menggantikan sesuatu yang lama, maka yang baru
tersebut baru boleh diterima apabila telah diyakini lebih baik daripada
yang lama. Dengan sikap sedemikian, manusia akan selalu menjadi lebih
baik dari waktu ke waktu.
Menurut hemat saya,tradisi-tradisi lokal yang baik (‘Adatun Shohihah)
seperti budaya megengan dan lainnya yang tidak bertentangan bahkan
selaras dengan nafas dan jiwa syari’at maka sepatutnyalah diberikan
apresiasi dalam rangka mengamalkan Islam rohmatan lil ‘alamin.