Laman

Selasa, 17 Juli 2012

Tradisi Muslim Jawa : MEGENGAN Menyambut Romadhon

Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian. (QS Yunus, 58)

Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah SWT. Sementara hadirnya Romadhon Al-Mubarok adalah jelas-jelas merupakan karunia dan rahmat Allah Swt yang sepatutnya kita sambut dengan penuh kegembiraan lahir bathin.

Detik-detik menjelang puasa terdapat tradisi masyarakat Muslim Jawa yang sampai saat ini masih eksis, yakni Megengan.. Tradisi ini biasanya dilaksanakan menjelang puasa demi mewujudkan rasa kegembiraan atas akan datangnya tamu agung yaitu Ramadhan Al-Mubarok. Tradisi ini dan yang lainnya sungguh-sungguh merupakan tradisi indigenius atau khas, yang tidak dimiliki oleh Islam di tempat lain. Tradisi ini ditandai dengan upacara selamatan ala kadarnya untuk menandai akan masuknya bulan puasa Ramadan yang diyakini sebagai bulan yang suci dan khusus.

Di duga kuat, bahwa tradisi ini diajarkan oleh walisanga khususnya Sunan Kalijaga. Namun mengingat bahwa kreasi-kreasi tentang Islam Jawa terutama yang menyangkut tradisi-tradisi baru akulturatif yang bervariatif tersebut kebanyakan datang dari pemikiran Sunan Kalijaga, maka kiranya dugaan ini pun bisa dipertanggungjawabkan.

Secara bahasa Megengan berarti menahan. Seperti dalam ungkapan megeng nafas, artinya menahan nafas, megeng hawa nafsu artinya menahan hawa nafsu dan sebagainya. Di dalam konteks puasa, maka yang dimaksud adalah menahan hawa nafsu selama bulan puasa. Secara simbolik, bahwa upacara megengan berarti menjadi penanda bahwa manusia akan memasuki bulan puasa sehingga harus menahan hawa nafsu, baik yang terkait dengan makan, minum, hubungan seksual dan nafsu lainnya.

Oleh sebab itu, megeng berarti suatu penanda bagi orang Islam untuk melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan yang sangat disucikan di dalam Islam. Para walisanga memang mengajarkan Islam kepada masyarakat dengan berbagai simbol-simbol. Dan untuk itu maka dibuatlah tradisi untuk menandainya, yang kebanyakan adalah menggunakan medium slametan meskipun namanya sangat bermacam-macam.

Nuansa keislaman memang sangat terasa di dalam tradisi ini. Dan sebagaimana diketahui bahwa Islam memang sangat menganjurkan agar seseorang bisa menahan hawa nafsu. Manusia harus menahan nafsu amarah, nafsu yang digerakkan oleh rasa marah, egois, tinggi hati, merasa benar sendiri dan menang sendiri. Nafsu amarah adalah nafsu keakuan atau egoisme yang paling sering meninabobokan manusia. Setiap orang memiliki sikap egoistik sebagai bagian dari keinginan untuk mempertahankan diri.

Perlukah Tradisi Megengan dilestarikan?

Dalam ushul fiqih terdapat sebuah kaidah asasi al-‘adat muhakkamat (=adat dapat dihukumkan) atau al-‘adat syari’at muhakkamat (=adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum (hukum Islam). Adat bisa mempengaruhi materi hukum , secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal non-implikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan hukum Islam bersifat fleksibel.

Sebuah diktum yang amat terkenal menerangkan tentang salah satu prinsip Islam: Muhafazhat ‘ala al-qadim al-shalih wa akhdz ‘ala al-jadid al-ashlah (=Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Artinya, kedatangan Islam tidaklah untuk memberangus adat yang baik yang berlaku pada suatu masyarakat. Islam memandang adat yang baik sebagai suatu bentuk kreasi manusia dalam konteks lingkungannya (fisik dan nonfisik). Karena itu, Islam bersifat acceptable pada berbagai bentuk masyarakat yang ada di dunia ini kapanpun juga. Atas dasar ini, Islam memang pantas menjadi agama universal dan berlaku selamanya.

Dalam perkembangan adat (akibat interaksi antar adat yang berbeda), Islam mengajarkan untuk menjaga adat lama yang baik, sebagai suatu orisinalitas yang akan mewarnai kehidupan. Apabila terdapat suatu adat baru (yang baik) maka hendaknya sebisa mungkin diterima untuk didampingkan dengan adat yang lama (yang juga baik), sehingga akan memperkaya khazanah budaya masyarakat tersebut. Namun apabila adat baru (yang baik) itu mesti menggantikan sesuatu yang lama, maka yang baru tersebut baru boleh diterima apabila telah diyakini lebih baik daripada yang lama. Dengan sikap sedemikian, manusia akan selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Menurut hemat saya,tradisi-tradisi lokal yang baik (‘Adatun Shohihah) seperti budaya megengan dan lainnya yang tidak bertentangan bahkan selaras dengan nafas dan jiwa syari’at maka sepatutnyalah diberikan apresiasi dalam rangka mengamalkan Islam rohmatan lil ‘alamin.