Laman

Jumat, 20 September 2013

Apakah Istri Yang Sudah Lama Dicerai Berhak Mendapatkan Warisan?



S. Seorang laki-laki telah menikah dengan istri pertama dan dikaruniai dua orang anak (satu laki-laki dan satu perempuan). Kemudian laki-laki itu menceraikan istri pertamanya. Kemudian laki-laki tersebut menikah lagi dengan istri kedua dan dikarunia satu anak laki-laki.

Pertanyaan saya pada pak Ustadz apakah istri pertama yang sudah lama dicerai tadi dan kedua anaknya berhak mendapatkan warisan dari harta yang ditinggalkan tersebut?

U. Untuk istri pertama dari laki-laki tersebut tidak berhak memperoleh warisan dari harta tirkah (peninggalannya) disebabkan istri pertama itu sudah dicerai dengan talak ba’in lama sebelum laki-laki tersebut meninggal.

Hal ini menyebabkan tidak ada lagi hubungan pernikahan diantara kedua belah pihak. Sedangkan salah satu penyebab mendapatkan warisan adalah adanya hubungan pernikahan.

Kemudian untuk dua orang anak yang merupakan hasil dari pernikahan laki-laki tersebut dengan istri pertamanya yang telah diceraikan itu berhak memperoleh warisan dari harta peninggalan laki-laki tersebut.

Kesimpulannya:
Yang berhak mewarisi atas harta peninggalan laki-laki tersebut adalah:
1. Istri kedua
2. Dua anak dari istri pertama (1 laki-laki dan 1perempuan)
3. Satu anak laki-laki dari istri kedua.

Wallahu A’lam    

Rabu, 04 September 2013

Bantahan Atas Argumen Lemah Dan Syubhat Wahabi Dalam Hal Tawassul Melalui Orang Yang Telah Mati !!


Salah satu landasan kaum Wahabi yang dijadikan dalil untuk melarang tawassul adalah bahwa tawassul disamakan dengan meminta kepada orang yang telah mati, dan hal itu adalah perbuatan syirik. Untuk memperkuat pemahamannya mereka sodorkan surat an Naml ayat 8:

"Sesungguhnya engkau tak bisa membuat orang yang mati mendengar dan tidak pula menjadikan orang yang tuli mendengar panggilan apabila mereka sudah berpaling."

Ayat diatas menyamakan kaum musyrikin dengan orang yang telah mati. Apabila orang yang mati tidak mampu mendengar ajakan kebenaran maka hal itu juga tidak akan didengar oleh kaum musyrikin. Apabila orang yang telah mati dan orang yang tuli mampu mendengar otomatis kaum musyrikinpun juga akan mampu mendengar seruan.

Dalil lain yang disodorkan oleh kaum wahabi adalah surat Fathir ayat 22 :

"Dan tiadalah sama orang yang hidup dan orang yang mati. Allah menjadikan siapa saja yang dikehendakiNya bisa mendengar dan tidaklah engkau menjadikan orang yang di dalam kubur itu bisa mendengar."

Dengan ayat diatas kaum wahabiyyin berkeyakinan bahwa memohon sesuatu kepada orang mati sama maka hukumnya dengan memohon sesuatu kepada benda mati.

Guna menangkis pendapat yang lemah dan syubhat diatas maka kita sampaikan bahwa sangat disayangkan kelompok Wahabi dengan gampangnya mendistorsi makna ayat suci Quran. Ayat-ayat yang dijadikan argumentasi tersebut sesungguhnya ingin menyatakan bahwa tubuh tanpa nyawa yang terbaring dikubur sudah tidak bisa lagi memahami sesuatu.

Sedangkan dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permohonan kita kepada tubuh yang sudah tidak mempunyai nyawa, namun kepada ruh pemilik jasad tersebut yang sudah hidup di alam kubur (barzakh). Dan dengan jelas Qur’an menyatakan, mereka itu hidup.

Ringkasnya, kita bertawassul kepada mereka yang dinyatakan hidup oleh Qur'an, bukan kepada benda mati.

Golongan wahabi menganggap bahwa sesudah manusia mati, ruh akan stagnasi seiring sirnanya tubuh kasarnya. Oleh sebab itu, mereka menolak dengan keras adanya kehidupan ruh para Nabi dan lainnya sesudah kematian mereka.

Mereka juga menyatakan jika seseorang telah mati tidak bisa beramal lagi sebab amalnya telah terputus selain tiga hal. Maka kita jawab : itu maksudnya mereka tidak bisa beramal dalam arti tidak menerima taklif hukum sehingga tidak bisa mendapatkan pahala. Buktinya dalam Hadits shahih para Nabipun melakukan shalat dikubur mereka. Ini membuktikan bahwa mereka bisa beramal walau tanpa beban taklif.

Sehingga dalam Hadits/atsar shahihpun Nabi Saw yang sudah wafat juga mampu mendo'akan kepada Allah bagi Umatnya yang saat itu kekeringan sehingga diturunkannyalah hujan oleh Allah dengan sebab ada seorang sahabat yang telah melakukan tawassul dengan Nabi yang sudah wafat.

Para ulama aswaja menolak pandangan Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahab yang mengingkari bolehnya tawassul dengan orang yang dekat dengan Allah sesudah matinya.

Kholil Ahmad dari madzhab Hanafi mengatakan:

"Kami dan para ulama’ kami meyakini bahwa diperbolehkan bertawassul dalam berdoa dengan para Nabi, solihin, auliya’ dan syuhada baik ketika mereka masih hidup maupun sesudah meninggal.

Dan pendapat diatas juga disepakati oleh mayoritas umat Islam, hanya wahabi dan variannyalah yang menyelisihinya.

Semoga petunjuk Allah atas mereka !!.

Selasa, 03 September 2013

Qodho’ Puasa Ramadhan Atau Puasa Sunnah Syawwal Dulu??



S. Jika pada bulan Syawal seorang wanita mau melakukan puasa sunnah Syawwal tapi masih mempunyai hutang puasa Ramadhan sebab saat bulan Ramadhan mengalami menstruasi. Mana yang didahulukan,apa membaya hutang puasa Ramadhan dulu atau berpuasa sunnah Syawwal dulu?

U.Puasa 6 hari pada bulan Syawwal mempunyai fadhilah tersendiri.  Dalam riwayat Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa`i dan Ibnu Majah, Rasulullah Saw bersabda yang artinya:

Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian melakukan puasa 6 enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama satu tahun . 

Kemudian bagaimana dengan seseorang yang melakukan puasa selama 6 hari di bulan syawwal dengan berniat untuk melunasi hutang puasa Ramadhannya dan sekaligus berniat melaksanakan puasa Syawwal? 

Puasa Ramadhan yang ditinggalkan sebab udzur syar’i (yang diperbolehkan agama) seperti karena haidl bagi wanita, maka untuk melunasi hutang puasanya tidak harus disegerakan dan boleh ditunda hingga bulan sya’ban yang akan datang sehingga ia boleh puasa sunnah Syawwal tanpa melunasi hutang ramadhan terlebih dahulu. Namun jika Puasa Ramadhan yang ditinggalkan tidak sebab udzur syar’i (yang tidak diperbolehkan agama) seperti orang berbuka disiang hari hanya sekedar tidak mampu menahan keinginan untuk makan atau minum,maka untuk melunasi hutang puasanya harus disegerakan dan tidak boleh ditunda.

Imam Hotib Syirbiny menerangkan bahwa apabila seseorang pada bulan Syawwal menunaikan puasa qodho’ untuk melunasi hutang puasa ramadhan, maka ia tetap memperoleh pahala puasa sunah Syawwal walau mungkin pahala puasa syawwal yang diperolehnya tidak seoptimal pahala puasa Syawwal yang dikerjakan sendiri tanpa dibarengi dengan niat puasa qodho’ ramadhan.

Referensi:
Kitab Mugnil Muhtaj, Juz I hal 600.

MENGHARAMKAN TAWASSUL PADA ORANG SHALIH YANG TELAH MENINGGAL DUNIA BERARTI BERTENTANGAN DENGAN QUR’AN !!.

Ada pertanyaan begini:

Ustadz A yang berasal dari pesantren Makkah mengatakan dilarang bertawasul melalui orang shalih yang telah mati. Ustadz tersebut menambahkan keterangannya bahwa berdasarkan Hadist yang Shahih Bertawasul hanya boleh pada 3 hal yaitu orang yang shalih yang masih hidup, asmaul khusna dan amal kebaikan.

Lalu Ustadz B yang berasal dari Al Azhar Mesir mengatakan BOLEH bertawassul kepada orang shalih yang telah wafat dengan dalil bahwa Rasulullah pernah bertawassul dengan Nabi-nabi terdahulu yang telah wafat.

Lalu saya menjawabnya:
Perbedaan yang melatar belakangi antara Ustadz A dan Ustadz B cuma dari sudut pandang perihal kematian.

Ustadz A menilai kematian dari sudut pandang dhohirnya semata. Namun Ustadz B memiliki sudut pandang yang lebih dalam, yaitu dengan memakai dasar dalil dari Qur'an.

Sudut pandang sebagaimana yang dimiliki Ustadz B memang hampir tidak pernah diungkapkan didepan khalayak. Sebab teramat banyak para Ulama' besar yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah mati sahid, namun alasannya tidak kita temukan.

Dalam postingan ini, saya membantu Ustadz B guna sedikit menerangkan dalil dibolehkannya tawassul dengan orang yang sudah meninggal.

Sebuah contoh:

Apabila saya bertawassul melalui Hamzah (paman Nabi Saw) yang mati syahid dalam peperangn uhud, maka:

Ustadz A tentu akan mencegah saya, sedangkan Ustadz B membolehkannya.

Ustadz A memiliki alasan bahwa Hamzah adalah orang yang sudah mati dan dilarang berwasilah dengan orang yang telah meninggal.

Ustadz B memiliki alasan bahwa Hamzah masih hidup (demikian pula orang mati yang lainnya termasuk para Nabi dan sholihin) walaupun secara fisik telah meninggal, sebab memakai sudut pandang Qur'an:


Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang gugur di jalan Allah mereka mati. Bahkan mereka hidup, akan tetapi kamu tidak merasakan.
(Al Baqarah:154)

KESIMPULAN:
Pemahaman Ustadz A ini bertentangan dengan Al Baqarah:154

Ustadz B memahami bahwa Hamzah masih hidup dan boleh bertawassul dengannya,
Sudut pandang ini sesuai dengan Al Qur'an.

Apabila Ustadz A tidak kita sadarkan, maka dia bisa termasuk orang yang tidak mempercayai akan kebenaran ayat-ayat Qur'an

Sungguh sangat na’if sekali, orang yang selalu mengatakan mari kembali pada kemurnian Qur'an dan Sunnah, ternyata malah melakukan penentangan terhadap Qur'an dengan mengi’tiqodi bahwa orang yang mati itu tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak boleh bertawassul dengannya.

Wallahu A’lam !!