Laman

Senin, 18 November 2013

Hukum Kurban Dengan Binatang Betina


S. Bagaimanakah hukum berkurban dengan sapi atau kambing yang berkelamin betina? Semoga berkenan untuk menjawabnya. Terima kasih

U. Hukum berkurban dengan sapi atau kambing betina adalah sah. Namun berkurban dengan binatang jantan adalah lebih utama.
Referensi:
- Kitab Al Majmu’ Juz 8 Hal.397

Hukum Membaca Yasin Dan Ar-Ra’du Disisi Orang Yang Sakarotul Maut


S. Mertua saya sudah sebulan lebih dirawat dirumah sakit. Dan saat ini keadaan sakitnya semakin parah bahkan spertinya dalam keadaan sakarotul maut (saat-saat menjelang meninggal). Saya dapat saran dari seseorang yang tahu agama katanya kami sekeluarga disuruh membacakan disamping mertua saya tersebut surat Yasin dan Ar-Ra’du. Namun ketika saya tanyakan dasar amalan tersebut beliaunya tidak member jawaban yang memuaskan saya.

Mohon Ustadz bisa menjelaskan masalah diatas apakah membaca kedua surat tersebut ada tuntunan dan fadhilahnya.
Terima kasih.
U. Didalam Kitab Nihayatuz Zain diterangkan dianjurkan dibacakan disisi orang yang sakarotul maut surat Yasin secara keras dan surat Ar-Ra’du secara samar  yang manfaatnya untuk meringankan keluarnya ruh.
Dan dalam sebuah Hadits diterangkan:
Bacakanlah suroh Yasin di sisi saudaramu yang sedang mengalami sekarat.”

Hadits diatas berlaku pula untuk yang masih hidup dan untuk yang telah meninggal dunia.
Dalam sebuah riwayat lain juga diterangkan:
Jika seorang Islam laki-laki dan perempuan dibacakan surat Yasin saat menjelang ajal maka akan diturunkan sepuluh malaikat sebagai berkah dari huruf-huruf Yasin yang dibaca. Para malaikat tersebut berdiri berjejer di sisi orang yang sakit, membacakan sholawat dan istigfar kepadanya dan turut menyaksikan ketika jenazahnya dimandikan dan mengantarkannya ke kubur. 
Di dalam kitab Audho’ul Ma’ani Ahadits Riyadhus Sholihin diterangkan bahwa membacakan surat Yasin bagi orang yang sedang mendekati kematian akan menjadi bekal baginya, sebagaimana halnya ia membawa susu kental di dalam bepergian. 
Referensi:
-Nihayatuz Zain hal 147
-Kasyifah As-Syubhat, hal. 263
-Audho’ul Ma’ani, hal. 376

Apakah Mungkin Para Sahabat Nabi Ada Yang Kafir Dan Murtad..?

Kita memahami bahwa para sahabat Nabi Saw bukanlah orang-orang yang ma’shum (terbebas dari dosa) seperti Nabi Muhammad Saw serta Nabi-Nabi lainnya.

Oleh karena itulah para Ulama' menerapkan batasan yang sangat ketat tentang siapa sajakah yang bisa dikategorikan sebagai "sahabat Nabi Saw" yang sesungguhnya.

Adapun batasan yang disyaratkan oleh para ulama' secara umum salah satunya adalah siapa saja orang yang bertemu Nabi Saw serta beriman pada beliau serta meninggal di dalam iman dan Islam. Maka orang sedemikian itulah yang berhak dinamakan sahabat Rasulullah Saw.

Sehingga apabila ada seseorang yang sebelumnya pernah bertemu dan beriman kepada Rasulullah Saw, tetapi kemudian orang tadi melakukan suatu perbuatan yang bisa mengakibatkan dia kufur, maka dia tidaklah bisa dikatakan sebagai sahabat Nabi Saw.

Seperti halnya yang pernah terjadi dimana sahabat Nabi Saw ada sebagian yang murtad pasca wafatnya beliau. Oleh karenanya, mereka yang telah murtad disaat itu, tidak bisa lagi dinamakan sebagai sahabat Nabi Saw. Karena walaupun pernah melihat Nabi Saw secara langsung dan hidup bersama beliau, juga beriman terhadap agama Islam yang dibawa Rasulullah, namun karena kemudian telah murtad dan meninggal dengan tidak membawa iman, maka mereka tersebut tidaklah bisa dikatakan sahabat. Oleh karena itulah, Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq memerangi mereka itu. Karena dalam Islam diperbolehkan memerangi orang yang murtad jika setelah diberi peringatan tetap saja tidak mau kembali kepada agama Islam.

Dengan demikian, layakkah mengatakan kepada seseorang walaupun dia pernah bertemu dan beriman kepada Nabi Saw, namun pada akhirnya mati dalam keadaan kufur atau murtad dengan sebutan Sahabat Nabi Saw? Maka tentunya pertanyaan seperti itu teramat mudah untuk dijawab: "jangankan dinamakan sebagai sahabat Nabi Saw, dinamakan orang muslim pun tidak pantas bagi mereka yang telah murtad".

Jadi kongklusinya adalah "tidak ada sahabat Nabi yang kafir dan murtad".

Kamis, 10 Oktober 2013

Aturan Menjatuhkan Vonis Kafir Kepada Sesama Orang Islam

Menjatuhkan vonis kafir terhadap seseorang adalah hak prerogratif dari pemerintahan Islam yang sah, bukan hak perorangan seperti imam sebuah kelompok, atau pemimpin ormas, ustadz, kyai dan semacamnya.

Kekafiran seseorang harus didasari dengan keputusan sah dari pemerintah, dimana sebelumnya telah dilakukan proses persidangan dalam mahkamah syar'iyah. Dan mahkamah syar'iyah tersebut cuma dilaksanakan oleh pemerintah, bukan individual atau lembaga non pemerintah.

Di dalam sidang tersebut, akan dihadirkan jaksa penuntut umum yang menyampaikan fakta-fakta yang memperkuat kekafiran si terdakwa. Dan bagi terdakwa berhak untuk membela diri dengan membawakan bukti dan alasan yang mengokohkan pembelaannya.

Selain itu juga harus didatangkan saksi-saksi ahli yang benar-benar mengerti kriteria hukum akidah dan syari’ah. Saksi-saksi ini akan dimintai pandangan serta penilaiannya secara professional yang sesuai manhaj ahlus sunnah wal jama’ah.

Jika tuduhan kafir itu memang terbukti, maka kepada sang terdakwa disuruh bertaubat dan kembali pada jalan yang lurus. Jika waktu tenggang untuk bertaubat telah diberikan dan ternyata tidak diindahkan, maka majelis mahmakah syar'iyah mempunyai hak untuk menjatuhkan vonis kafir atas nama pemerintah secara sah dan resmi, serta mempunyai kekuatan hukum.

Maka janganlah grusah grusuh tanpa ilmu berani mengambil kewenangan pemerintah dalam hal menvonis kafir. Dan haram bagi kita main vonis kafir kepada sesama muslim. Sebab hal itu membutuhkan bukti dan saksi yang memiliki kekuatan hukum bukan sekedar asal-asalan.

Wallahu A'lam.

Jumat, 20 September 2013

Apakah Istri Yang Sudah Lama Dicerai Berhak Mendapatkan Warisan?



S. Seorang laki-laki telah menikah dengan istri pertama dan dikaruniai dua orang anak (satu laki-laki dan satu perempuan). Kemudian laki-laki itu menceraikan istri pertamanya. Kemudian laki-laki tersebut menikah lagi dengan istri kedua dan dikarunia satu anak laki-laki.

Pertanyaan saya pada pak Ustadz apakah istri pertama yang sudah lama dicerai tadi dan kedua anaknya berhak mendapatkan warisan dari harta yang ditinggalkan tersebut?

U. Untuk istri pertama dari laki-laki tersebut tidak berhak memperoleh warisan dari harta tirkah (peninggalannya) disebabkan istri pertama itu sudah dicerai dengan talak ba’in lama sebelum laki-laki tersebut meninggal.

Hal ini menyebabkan tidak ada lagi hubungan pernikahan diantara kedua belah pihak. Sedangkan salah satu penyebab mendapatkan warisan adalah adanya hubungan pernikahan.

Kemudian untuk dua orang anak yang merupakan hasil dari pernikahan laki-laki tersebut dengan istri pertamanya yang telah diceraikan itu berhak memperoleh warisan dari harta peninggalan laki-laki tersebut.

Kesimpulannya:
Yang berhak mewarisi atas harta peninggalan laki-laki tersebut adalah:
1. Istri kedua
2. Dua anak dari istri pertama (1 laki-laki dan 1perempuan)
3. Satu anak laki-laki dari istri kedua.

Wallahu A’lam    

Rabu, 04 September 2013

Bantahan Atas Argumen Lemah Dan Syubhat Wahabi Dalam Hal Tawassul Melalui Orang Yang Telah Mati !!


Salah satu landasan kaum Wahabi yang dijadikan dalil untuk melarang tawassul adalah bahwa tawassul disamakan dengan meminta kepada orang yang telah mati, dan hal itu adalah perbuatan syirik. Untuk memperkuat pemahamannya mereka sodorkan surat an Naml ayat 8:

"Sesungguhnya engkau tak bisa membuat orang yang mati mendengar dan tidak pula menjadikan orang yang tuli mendengar panggilan apabila mereka sudah berpaling."

Ayat diatas menyamakan kaum musyrikin dengan orang yang telah mati. Apabila orang yang mati tidak mampu mendengar ajakan kebenaran maka hal itu juga tidak akan didengar oleh kaum musyrikin. Apabila orang yang telah mati dan orang yang tuli mampu mendengar otomatis kaum musyrikinpun juga akan mampu mendengar seruan.

Dalil lain yang disodorkan oleh kaum wahabi adalah surat Fathir ayat 22 :

"Dan tiadalah sama orang yang hidup dan orang yang mati. Allah menjadikan siapa saja yang dikehendakiNya bisa mendengar dan tidaklah engkau menjadikan orang yang di dalam kubur itu bisa mendengar."

Dengan ayat diatas kaum wahabiyyin berkeyakinan bahwa memohon sesuatu kepada orang mati sama maka hukumnya dengan memohon sesuatu kepada benda mati.

Guna menangkis pendapat yang lemah dan syubhat diatas maka kita sampaikan bahwa sangat disayangkan kelompok Wahabi dengan gampangnya mendistorsi makna ayat suci Quran. Ayat-ayat yang dijadikan argumentasi tersebut sesungguhnya ingin menyatakan bahwa tubuh tanpa nyawa yang terbaring dikubur sudah tidak bisa lagi memahami sesuatu.

Sedangkan dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permohonan kita kepada tubuh yang sudah tidak mempunyai nyawa, namun kepada ruh pemilik jasad tersebut yang sudah hidup di alam kubur (barzakh). Dan dengan jelas Qur’an menyatakan, mereka itu hidup.

Ringkasnya, kita bertawassul kepada mereka yang dinyatakan hidup oleh Qur'an, bukan kepada benda mati.

Golongan wahabi menganggap bahwa sesudah manusia mati, ruh akan stagnasi seiring sirnanya tubuh kasarnya. Oleh sebab itu, mereka menolak dengan keras adanya kehidupan ruh para Nabi dan lainnya sesudah kematian mereka.

Mereka juga menyatakan jika seseorang telah mati tidak bisa beramal lagi sebab amalnya telah terputus selain tiga hal. Maka kita jawab : itu maksudnya mereka tidak bisa beramal dalam arti tidak menerima taklif hukum sehingga tidak bisa mendapatkan pahala. Buktinya dalam Hadits shahih para Nabipun melakukan shalat dikubur mereka. Ini membuktikan bahwa mereka bisa beramal walau tanpa beban taklif.

Sehingga dalam Hadits/atsar shahihpun Nabi Saw yang sudah wafat juga mampu mendo'akan kepada Allah bagi Umatnya yang saat itu kekeringan sehingga diturunkannyalah hujan oleh Allah dengan sebab ada seorang sahabat yang telah melakukan tawassul dengan Nabi yang sudah wafat.

Para ulama aswaja menolak pandangan Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahab yang mengingkari bolehnya tawassul dengan orang yang dekat dengan Allah sesudah matinya.

Kholil Ahmad dari madzhab Hanafi mengatakan:

"Kami dan para ulama’ kami meyakini bahwa diperbolehkan bertawassul dalam berdoa dengan para Nabi, solihin, auliya’ dan syuhada baik ketika mereka masih hidup maupun sesudah meninggal.

Dan pendapat diatas juga disepakati oleh mayoritas umat Islam, hanya wahabi dan variannyalah yang menyelisihinya.

Semoga petunjuk Allah atas mereka !!.

Selasa, 03 September 2013

Qodho’ Puasa Ramadhan Atau Puasa Sunnah Syawwal Dulu??



S. Jika pada bulan Syawal seorang wanita mau melakukan puasa sunnah Syawwal tapi masih mempunyai hutang puasa Ramadhan sebab saat bulan Ramadhan mengalami menstruasi. Mana yang didahulukan,apa membaya hutang puasa Ramadhan dulu atau berpuasa sunnah Syawwal dulu?

U.Puasa 6 hari pada bulan Syawwal mempunyai fadhilah tersendiri.  Dalam riwayat Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa`i dan Ibnu Majah, Rasulullah Saw bersabda yang artinya:

Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian melakukan puasa 6 enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama satu tahun . 

Kemudian bagaimana dengan seseorang yang melakukan puasa selama 6 hari di bulan syawwal dengan berniat untuk melunasi hutang puasa Ramadhannya dan sekaligus berniat melaksanakan puasa Syawwal? 

Puasa Ramadhan yang ditinggalkan sebab udzur syar’i (yang diperbolehkan agama) seperti karena haidl bagi wanita, maka untuk melunasi hutang puasanya tidak harus disegerakan dan boleh ditunda hingga bulan sya’ban yang akan datang sehingga ia boleh puasa sunnah Syawwal tanpa melunasi hutang ramadhan terlebih dahulu. Namun jika Puasa Ramadhan yang ditinggalkan tidak sebab udzur syar’i (yang tidak diperbolehkan agama) seperti orang berbuka disiang hari hanya sekedar tidak mampu menahan keinginan untuk makan atau minum,maka untuk melunasi hutang puasanya harus disegerakan dan tidak boleh ditunda.

Imam Hotib Syirbiny menerangkan bahwa apabila seseorang pada bulan Syawwal menunaikan puasa qodho’ untuk melunasi hutang puasa ramadhan, maka ia tetap memperoleh pahala puasa sunah Syawwal walau mungkin pahala puasa syawwal yang diperolehnya tidak seoptimal pahala puasa Syawwal yang dikerjakan sendiri tanpa dibarengi dengan niat puasa qodho’ ramadhan.

Referensi:
Kitab Mugnil Muhtaj, Juz I hal 600.

MENGHARAMKAN TAWASSUL PADA ORANG SHALIH YANG TELAH MENINGGAL DUNIA BERARTI BERTENTANGAN DENGAN QUR’AN !!.

Ada pertanyaan begini:

Ustadz A yang berasal dari pesantren Makkah mengatakan dilarang bertawasul melalui orang shalih yang telah mati. Ustadz tersebut menambahkan keterangannya bahwa berdasarkan Hadist yang Shahih Bertawasul hanya boleh pada 3 hal yaitu orang yang shalih yang masih hidup, asmaul khusna dan amal kebaikan.

Lalu Ustadz B yang berasal dari Al Azhar Mesir mengatakan BOLEH bertawassul kepada orang shalih yang telah wafat dengan dalil bahwa Rasulullah pernah bertawassul dengan Nabi-nabi terdahulu yang telah wafat.

Lalu saya menjawabnya:
Perbedaan yang melatar belakangi antara Ustadz A dan Ustadz B cuma dari sudut pandang perihal kematian.

Ustadz A menilai kematian dari sudut pandang dhohirnya semata. Namun Ustadz B memiliki sudut pandang yang lebih dalam, yaitu dengan memakai dasar dalil dari Qur'an.

Sudut pandang sebagaimana yang dimiliki Ustadz B memang hampir tidak pernah diungkapkan didepan khalayak. Sebab teramat banyak para Ulama' besar yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah mati sahid, namun alasannya tidak kita temukan.

Dalam postingan ini, saya membantu Ustadz B guna sedikit menerangkan dalil dibolehkannya tawassul dengan orang yang sudah meninggal.

Sebuah contoh:

Apabila saya bertawassul melalui Hamzah (paman Nabi Saw) yang mati syahid dalam peperangn uhud, maka:

Ustadz A tentu akan mencegah saya, sedangkan Ustadz B membolehkannya.

Ustadz A memiliki alasan bahwa Hamzah adalah orang yang sudah mati dan dilarang berwasilah dengan orang yang telah meninggal.

Ustadz B memiliki alasan bahwa Hamzah masih hidup (demikian pula orang mati yang lainnya termasuk para Nabi dan sholihin) walaupun secara fisik telah meninggal, sebab memakai sudut pandang Qur'an:


Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang gugur di jalan Allah mereka mati. Bahkan mereka hidup, akan tetapi kamu tidak merasakan.
(Al Baqarah:154)

KESIMPULAN:
Pemahaman Ustadz A ini bertentangan dengan Al Baqarah:154

Ustadz B memahami bahwa Hamzah masih hidup dan boleh bertawassul dengannya,
Sudut pandang ini sesuai dengan Al Qur'an.

Apabila Ustadz A tidak kita sadarkan, maka dia bisa termasuk orang yang tidak mempercayai akan kebenaran ayat-ayat Qur'an

Sungguh sangat na’if sekali, orang yang selalu mengatakan mari kembali pada kemurnian Qur'an dan Sunnah, ternyata malah melakukan penentangan terhadap Qur'an dengan mengi’tiqodi bahwa orang yang mati itu tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak boleh bertawassul dengannya.

Wallahu A’lam !!

Selasa, 27 Agustus 2013

Arogansi Wahabi: Meminta Syafa'at Kepada Nabi Berarti Menyembah Nabi Dan Syirik Serta Menyerupai Nashrani !!.

Dalam permasalahan syafa’at, golongan Wahabi telah keliru memahaminya dengan menyamakan permohonan syafa’at kepada Nabi dan orang-orang sholih dengan syirik. Untuk menguatkan pandangan yang keliru ini mereka mengemukakan sejumlah argumentasi yang kesimpulannya adalah bahwa meminta syafa’at kepada selain Allah adalah syirik. Sangat jelaslah kalau disini kaum wahabi adalah kaum yang ahli mensyirikkan kelompok lain.

Pemahaman dan akidah Wahabi sama sekali tidak didasari oleh pemikiran yang shohih. Pemahaman yang menyimpang tersebut bisa dibantah dengan ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits shohih. Mereka tidak memahami dengan benar arti penyembahan. Oleh karena itu, mereka berpemahaman bahwa meminta syafa’at dari para nabi hukumnya sama dengan menyembah mereka. Dan tak ubahnya seperti orang Kristen yang masuk surge karena tebusan dosa yesus. Padahal dalam hal “menyembah” itu ada satu unsur kepatuhan mutlak yang hanya umat Islam lakukan kepada Allah Swt.

Semenjak zaman Nabi sampai sekarang, umat Islam cuma meyakini Allahlah sebagai Tuhan yang secara mutlak memilik syafa’at, bukan para Nabi. Para Nabi hanya mampu memberi syafa’at dengan izin Allah. Sebab diterangkan dalam Qur’an bahwa Allah Swt menganugerahkan hak kepada Nabinya untuk memberi syafaat terhadap umat manusia. Karena adanya izin dari Allah inilah maka umat Islam meminta Nabi Muhammad Saw untuk memberi syafa’at.

Ulama Ahlus sunnah semisal Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi dalam kitab haditsnya mereka tidak pernah mensejajarkan syafa’at dengan prilaku syirik.

Dalam kitab Hadits Sunan Tirmidzi diterangkan satu riwayat dari sahabat Anas bin Malik yang mengatakan:

"Aku memohon Nabi untuk memberiku syafa’at di hari kiamat. Beliaupun menerima dan bersabda: “Aku akan melaksanakannya. Aku lalu bertanya lagi: Dimanakah aku menjumpaimu ya Rasulullah? Beliau menjawab, ‘Di sirath (jembatan)." (Juz:IV hal: 621 Nomor hadits 2433).

Riwayat diatas menjelaskan bahwa sahabat Anas dengan haqqul yaqin meminta syafa’at kepada Nabi Saw dan beliaupun menerima permohonannya. Dalam hati Nabi Saw dan Anas tidak terbersit sedikitpun fikiran bahwa perbuatan tersebut tergolong syirik.

PERTANYAANNYA: Lalu kenapa kaum wahabi berani mensyirikkannya?

Kamis, 11 Juli 2013

Waktu Dan Tempat Mustajab Dalam Berdo’a



S. Mohon dijelaskan waktu-waktu apa saja dan tempat mana saja yang manjur untuk berdo’a. Terima kasih.
U. Memang terdapat waktu-waktu dan tempat-tempat mustajab yang akan mempengaruhi dikabulkanya do’a.

A.Waktu-waktu mustajab untuk berdoa’ itu banyak sekali, diantaranya:

1. Malam jum’at atau
2. Malam idul fitri
3. Malam idul adha
4. Malam sepuluh muharrom
5. Malam nisfu sya’ban
6. Malam lailatul qodar
7. Sepertiga malam yang akhir
8. Saat mau berbuka
9. Antara adzan dan iqamat
10. Saat  khotib duduk antara dua khutbah
11. Sesudah shalat fardhu
12. Antara dzuhur dengan ashar
13. Setelah khatam Al-Qur’an
14. Waktu awal turun hujan terutama setelah kemarau
15. Sesudah mengerjakan amal soleh
16. Sesudah bersedekah kepada fakir miskin

B.Adapun tempat-tempat yang manjur untuk berdo’a diantaranya adalah:

1. Saat melihat Ka’bah
2. Ditempat melaksanakan thowaf
3. Disamping Multazam
4. Disamping Sumur zamzam saat  tenggelam matahari
5. Dibelakang Maqom ibrahim
6. Diatas Bukit Shofa
7. Diatas Bukit Marwah
8. Ditempat Sa’i (Mas’a)
9. Di Arofah khususnya sesudah ashar menjelang matahari akan terbenam
10. Di Muzdalifah
11. Di Mina
12. Disamping  Jumrotul ula
13. Disamping Jumrotul wusto
14. Disam[ing Jumrotul aqobah
15. Didalam Roudhoh Masjid Nabawi